Sejarah Singkat Perang Diponegoro

Sejarah Singkat Perang Diponegoro


Sejarah Singkat Perang Diponegoro - Sejak pertengahan abad ke-17 secara bertahap kekuasaan Belanda melalui VOC semakin kuat tertanam di tatanan kehidupan di Pulau Jawa dan hal ini terus meluas ke beberapa pulau-pulau lainnya di Kepulauan Nusantara. Di Kerajaan Mataram sendiri, sejak pertengahan abad ke-18 VOC telah memegang hak untuk menentukan siapa yang akan dilantik sebagai penguasa.

Perang diponegoro merupakan pertempuran terbesar dihadapi Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda di Jawa. Sampai selesainya perang tersebut diperkirakan yang gugur ada kurang lebih dua ratus ribu orang, sedangkan yang mengalami ppenderitaan berjumlah sepertiga dari penduduk. Di bawah ini akan dijelaskan sejarah singkat Perang Diponegoro.

Jatuhnya pelabuhan-pelabuhan di antai utara Pulau Jawa ke tangan Belanda telah menyebabkan menyempitnya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Selain itu Belanda juga mulai ikut campur dalam pengangkatan raja di Kerajaan Mataram. Hal ini telah menyebabkan Kerajaan Mataram kehilangan kekuatan politiknya. Kesulitan lain yang dihadapi oleh pihak keraton Mataram adalah timbulnya perpecahan, perebutan kekuasaan, yang setiap kali muncul selalu diakhiri dengan pemberian konsesi-konsesi yang menguntungkan Belanda dan di sisi lain menghancurkan Kerajaan Mataram sendiri.

Sementara itu kehidupan rakyat semakin tertekan karena bermacam jenis pajak yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dan sangat memberatkan. Para bangsawan banyak yang kecewa dan meraasa dirugikan oleh berbagai peraturan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, Setelah Belanda menerima kembali jajahannya kembali dari Inggris. Diantara peraturan yang merugikan pihak bangsawan itu adalah larangan mempersewakan tanah kepada pihak swasta asing. 

Kalangan agama juga merasa kecewa dengan masuknya kekuasaan belanda dikalangan istana ini. Masuknya kebiasaan barat dikalangan istana seperti minuman-minuman keras sangat mencemaskan para pemuka agama hal ini bisa meluas dikalangan rakyat dan dengan sendirinya dapat menjurus kepada perbuatan-perbuatan yang tidak selaras dengan ajaran agama. Dapat disimpulkan bahwa rasa tidak puas dengan keadaan dan kebencian kepada belanda terdapat disema lapisan masyarakat, rakyat biasa, bangsawan, pemilik tanah, pemuka agama, dan kalangan istana.

Pangeran diponegoro sebagai salah seorang wali dan sultan yang belum dewasa, merasa kecewa dengan kuatnya pengaruh Belanda dalam kehidupan istana Mataram. Pangeran Diponegoro mulai meninggalkan istana dan tinggal di Tegalrejo. Di Tegalrejo ini Pangeran Diponegoro mulai memusatkan perhatiannya kepada soal-soal agama. Suatu ilham yang diterimanya ialah bahwa Pangeran Diponegoro memperoleh perintah agar menyelamatkan tanah Jawa. 

Tugas yang diterimanya lewat ilham itulah yang memberikan otoritas kepada Pangeran Diponegoro untuk memimpin gerakan pada satu pihak, dan menjadi tuntunannya yang keras dalam berunding dengan Belanda pada pihak lain. Konsep Ratu Adil atau mesianisme yang menjadi konsep penting bagi Pangeran Diponegoro untuk menggerakan massa. Konsep Ratu Adil ini merupakan faktor yang  membuat mobilisasi dikalangan rakyat menjadi sangat efektif. Pribadi Pangeran Diponegoro digambarkan sebagai pranatagama atau pimpinan.

Sementara itu, Belanda melakukan tindakan yang sangat menyinggung perasaan dan kehormatan Pangeran Diponegoro. Tanpa seizin dari Pangeran Diponegoro, Belanda membuat jalan kereta api dengan melintasi tanah pemakaman leluhur Pangeran Diponegoro. Sebagai proses dari pembuatan itu patok-patok untuk pembuatan jalan dicabut dan digantikan dengan  tombak-tombak. Residen Smissaert  berusaha mengadakan perundingan tetapi Pangeran Diponegoro tidak mau menghadiri perundingan ini. Pangeran Diponegoro hanya mengirim wakilnya, Pangeran Mangkubumi. Usaha yang dilakukan Assiten Residen, Chevaller untuk menangkap kedua pangeran digagalkan oleh barisan rakyat di Tegalrejo.

Kota Yogyakarta kemudian dikepung agar terjadi kelaparan. Pertahanan yang terpusat di Benteng Vredeburg hanya terdiri dari 200 orang serdadu. Sehingga Belanda harus mengirimkan bantuan yang  didatangkan dari Surakarta, Semarang, dan Jawa Timur. Di dalam kota Yogyakarta, penduduk Belanda merasa terancam akan hal ini. Pembunuhan dan perampokan terjadi, dan Kota Yogyakarta mulai diserang dengan dahsyatnya sehingga Pangeran Menol perlu diungsikan di ke dalam Benteng Vredeburg. 

Perang dengan taktik gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro mulai menyebarluas kemana-mana. Semarang dan daerah pantai sekitarnya mulai diserang yang menyebabkan Belanda harus mendatangkan bantuan tentara dari Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan untuk dapat meredam serangan ini. Usaha untuk mengadakan perundingan baik oleh Residen Yogyakarta maupun oleh Jendral H. M. de kock tidak ditanggapi oleh Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro kemudian memperkuat dukungan terhadap dirinya dengan bantuan dari Kyai Maja dan Sentot Prawiradirja. 

Dengan kewibawaan religiusnya Kyai Maja dapat mengerahkan rakyat dan para santri untuk jadi pengikut Pangeran Diponegoro, terutama dari daerah Pajang. Selain itu ditambah pula dengan  didengungkannya perang sabil melawan kafir, loyalitas dan semangat perang rakyat yang membela Pangeran Diponegoro semakin kuat. Selain Kyai Maja, Sentot Prawiradirdja adalah seorang yang pernah mengenyam pendidikan militer bergaya Eropa di Turki. Dengan pengalamannya ini, Sentot Prawiradirdja dapat dengan mudah mengetahui berbagai strategi perang yang hendak dilakukan oleh Belanda.

Perlawanan rakyat pun mulai meluas ke berbagai wilayah. Daerah-daerah yang bangkit melawan Belanda diantaranya adalah Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang dan Madiun. Pertempuran besar terjadi diberbagai tempat di daerah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Sampai tahun 1827 pengikut Pangeran Diponegoro banyak memperoleh kemenangan dalam peperangan. Luasnya daerah peperangan serta taktik gerilya yang dilancarkan pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro, memaksa Belanda untuk mengerahkan segala kekuatannya. Upaya mengadakan perdamaian pada tahun 1827 menemui kegagalan. Belanda kemudian menjalankan siasat perang yang disebut dengan "benteng stelsel". Sistem benteng ini dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro.

Menurut taktik benteng stelsel di daerah-daerah yang sudah diamankan dan dikuasai oleh Belanda, maka harus didirikan benteng yang saling dihubungkan dengan jalan sehingga komunikasi dapat dilakukan dengan mudah. Benteng berfungsi pula untuk memberikan perlindungan rakyat yang bermukim dan bercocok tanam kewilayah sekitarnya. Daerah operasi pasukan Pangeran Diponegoro hendak dibatasi didaerah antara Sungai Progo dan Bagawanta.

Siasat benteng stelsel ini nyatanya berhasil. Sehingga pada tahun 1827 Kyai Maja bersedia berunding dan menyerah kepada Belanda. Dengan menyerahnya Kyai Maja merupakan titik balik bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Setelah ditangkapnya Kyai Maja, pasukan Pangeran Diponegoro masih beberapa kali berhasil memenangkan pertempuran hingga tahun 1828.

Pada tahun 1829 kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro mulai terdesak. Beberapa orang kepercayaan Pangeran Diponegoro terpaksa menyerah atau tertangkap. Diantaranya adalah; Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwedono tertangkap dan disusul oleh Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo. Sentot Prawirodirjo menyerah pada tahun 1829 dan Pangeran mengkubumi sendiri menyerah pada bulan September 1829. Ditangkapnya Sentot Prawirodirdjo sebagai otak dari strategi perang Pangeran Diponegoro membuat kondisi Pangeran Diponegoro semakin terdesak.

Pada awal tahun 1830 Belanda berusaha untuk mengakhiri perang secepatnya Jendral H.M. de kock berusaha mengadakan pembicaraan dengan Pangeran Diponegoro. Dijanjikanya perlakuan jujur dan ksatria. Diponegoro boleh melanjutkan perang apabila perundingan gagal. Pada tanggal 21 Februari 1830 Pangeran Diponegoro beserta pasukan pengiringnya datang ke Bukit Menoreh, dan pada tanggal 8 Maret 1830 tiba di Kota Magelang. Perundingan diadakan dirumah Residen Kedu pada tanggal 28 Maret 1830. Pada waktu itu Jendral H.M. de kock sudah mengatur siasat untuk menangkap Pangeran Diponegoro jika perundingan menememui jalan buntu. 

Didalam perundingan itu Pangeran Diponegoro menuntut agar Belanda mengakui Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin umat Islam seluruh Jawa, namun perundingan ini ternyata gagal. Belanda meninggalkan sikap ksatria yang telah dijanjikannya. Pangeran Diponegoro ditangkap dengan kereta yang sebelumnya telah dipersiapkan. Pangeran Diponegoro kemudian diangkut ke Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada bulan Mei 1830, Pangeran Diponegoro diangkut ke tempat pembuangannnya di Manado dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar di mana di sinilah Pangeran Diponegoro wafat pada tanggal 8 januari 1855.

Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro ini ternyata mempunyai pengaruh sangat besar di Mataram dan daerah sekitarnya. Belanda sendiri menderita kerugian yang cukup berat di mana 15.000 tentaranya tewas dalam perang dan diantaranya 8.000 orang Eropa. Perang Diponegoro ini juga menghabiskan biaya sebesar 29 juta gulden serta kerusakan infrastruktur lain.

Lebih baru Lebih lama