Sejarah Volksraad
Di bawah ini adalah deskripsi tentang sejarah Volksraad atau Dewan Rakyat yang dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Pembentukan Volksraad berdasarkan padaPasal
53 sampai dengan Pasal 80 Bagian Kedua Indische Staatsregeling, wet op
de Staatsinrichting van Nederlandsh-Indie (Indische Staatsrgeling) yang
ditetapkan pada tanggal 16 Desember 1916 serta diumumkan dalam
Staatsblat Hindia No. 114 Tahun 1916 dan berlaku pada tangal 1 Agustus
1917 memuat hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan legislatif, yaitu
Volksraad (Dewan Rakyat).
Berdasarkan konstitusi Indische Staatsrgeling yang dikeluarkan oleh Belanda itulah, pada tanggal 18 Mei 1918 Gubernur Jenderal Graaf
van Limburg Stirum atas nama pemerintah penjajah Belanda membentuk dan
melantik Volksraad (Dewan Rakyat).
Volksraad
yang diambil dari bahasa Belanda dan secara harafiah berarti "Dewan
Rakyat", adalah semacam dewan perwakilan rakyat Hindia-Belanda.
Keanggotaan Volksraad pada awal pendirian tahun 1918 terdiri dari;
Ketua :
1 orang (diangkat oleh Raja) dan Anggota : 38 orang, di mana 15 di
antaranya adalah orang pribumi. Anggota lainnya adalah orang Belanda,
dan orang asing timur lainnya: Tionghoa, Arab dan India. Pada tahun 1927
terdiri dari : Ketua : 1 orang (diangkat oleh Raja) Anggota : 55 orang
(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 25
orang).Tahun 1930: Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja) Anggota: 60 orang
(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 30
orang).Jadi sepanjang sejarah Volksraad golongan Bumi Putra tidak pernah
melebihi 50 % dari total keanggotaannya.
Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:
- Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui "Wali Pemilih" dari "Dewan Provinsi" berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh "Wali Pemilih" dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)
- Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).
- Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melinkan diangkat oleh mahkota Nederland.
Awalnya,
lembaga ini hanya memiliki kewenangan sebagai penasehat. Baru pada
tahun 1927, Volksraad memiliki kewenangan ko-legislatif bersama
Gubernur-Jendral yang ditunjuk oleh Belanda, dimana Gubernur-Jendral
memiliki hak veto yang membuat kewenangan Volksraad sangat terbatas.
Selain itu, mekanisme keanggotaan Volksraad dipilih melalui pemilihan
tidak langsung. Pada tahun 1939, hanya 2.000 orang memiliki hak pilih.
Dari 2.000 orang ini, sebagian besar adalah orang Belanda dan orang
Eropa lainnya.
Volksraad
sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan
pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan
kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit,
komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.
Pemilihan
orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan
berbagai "Dewan Kabupaten" dan "Haminte Kota", di mana setiap 500 orang
Indonesia berhak memilih "Wali Pemilih" (Keesman). Kemudian Wali Pemilih
inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian
setiap provinsi mempunyai "Dewan Provinsi", yang sebagian anggotanya
dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi
tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa
Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal.
Muncul
beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad
ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu
ditolak. Salah satunya adalah "Petisi Sutardjo" pada tahun 1935 yang
berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan
bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai
nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia
Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak
pemerintah kolonial Belanda.
Tugas Volksraad
Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal daripada "menyuarakan" kehendak masyarakat. Karena itu, Volksraad sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia. Bahkan, "parlemen gadungan" ini juga tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya.
Sesuai
dengan perkembangan politik di Indonesia, perubahan sedikit demi
sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada
saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia, yaitu RR (Regeling
Reglement, 1854) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini
membawa pengaruh pada komposisi dan tugas-tugas Volksraad.
Perubahan
sistem pemilihan anggota terjadi sejak 1931. Sebelumnya, semua anggota
Volksraad yang dipilih melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah
menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk yang harus
dipilih. Selain itu, diadakan pula sistem pembagian dalam dua belas
daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara (kaula) Indonesia
asli.
Berbagai
tuntutan dari kalangan Indonesia asli semakin bermunculan agar mereka
lebih terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi:
1. 8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond)
2. 5 orang mewakili P.P.B.B.
3. 4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond)
4. 4 orang V.C. (Vederlandisch Club)
5. 3 orang mewakili Parindra
6. 2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partij)
7. 2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina)
8. 2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partij)
9. 4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB (vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), Partai Tionghoa Indonesia
10. 5
orang mewakili berbagai organisasi yang setiap organisasi mendapat satu
kursi yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1
(Persatuan Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1
(Perhimpunan Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V)
Sidang-sidang
Volksraad berlangsung di gedung yang sekarang diberi nama gedung
Pancasila, di Jl Pejambon, Jakarta Pusat yang kini menjadi bagian dari
gedung Departemen Luar Negeri RI. Gedung ini dibangun 1830. Awalnya
merupakan tempat kediaman Komandan Tentara Hindia Belanda. Dia adalah
Herzog Bernhard van Sachsen (1792- 1862). Karena itu pada masa kolonial
tempat ini bernama Hertogpark (Taman Adipati). Sebelumnya seorang
Tionghoa pernah mendirikan pabrik dan penggilingan tebu di tempat ini.
Untuk kemudian digantikan dengan tangsi militer.
Dan
selama periode 1927 – 1941, Volksraad hanya pernah membuat enam
Undang-Undang, dan dari enam UU itu hanya tiga yang diterima pemerintah
kolonial Belanda. Sementara sebuah petisi pada masa itu yang sangat
terkenal adalah Petisi Soetardjo, yang isinya mengusulkan kemerdekaan
bagi Indonesia.
Petisi
Soetardjo diajukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo pada 15 Juli 1936
kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal atau Parlemen Belanda.
Petisi tersebut diajukan karena semakin meningkatnya perasaan tidak puas
terhadap pemerintah akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan
Gubernur Jenderal de Jonge. Petisi ini juga ditandatangani oleh IJ.
Kasimo, GSSJ. Ratulangi, Datuk Tumenggung dan Ko Kwat Tiong.
Usulan
yang terdapat dalam Petisi Soetardjo tersebut membuahkan reaksi
beragam, menurut pers Belanda seperti Preanger Bode, Java Bode,
Bataviaasch Nieuwsblad, usulan tentang kemerdekaan Indonesia tersebut
sangatlah membahayakan, mereka menyebut petisi tersbut adalah "
permainan yang berbahaya ". Sementara bagi pers Indonesia seperti
Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli dan
Soeara Khatoliek, petisi tersebut patut untuk didukung.
Kembali
ke Volksraad, pada saat itu selain kewenangan yang nyaris dikebiri
akibat hak veto yang dimiliki Gubernur Jenderal, dalam persidanganan-pun
semua aspek nyaris semuanya dikuasai oleh pemerintah kolonial, seperti
bahasa yang dipakai dalam persidangan harus memakai bahasa Belanda.
Pada
tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan di Indonesia.
Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan
keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa
Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.